Benih-benih rencana mendirikan Bhumiksara pada mulanya tumbuh di kalangan para cendekiawan Indonesia, khususnya mereka yang waktu itu aktif bergabung pada forum Asosiasi Perguruan Tinggi Katolik (APTIK). Mereka itu adalah Drs. Frans Seda, Prof. Dr. A.M. Kadarman SJ, Prof. Dr. Anton N. Moeliono, Drs. P. Swantoro, Rm. F.X. Danuwinata SJ, dan Johanes Sadiman, bersama sejumlah tokoh Katolik lainnya.
Pada waktu itu sudah sangat mereka sadari, perkembangan zaman yang ditandai dengan globalisasi, kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi ternyata tidak bisa menjamin kesejahteraan hidup. Dalam perkembangan itu sekaligus pula terdapat arus yang bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan. Karena terjadi perubahan sosial begitu pesatnya, di masyarakat pun bergeser berbagai macam nilai yang bahkan seringkali malah merendahkan martabat manusia.
Kelompok awam khususnya kaum profesional dan cendekia merasa terpanggil melaksanakan kerasulan intelektual dan profesional guna menegakkan, menata, dan mengembangkan nilai-nilai kristiani. Semua ini ditujukan agar mereka bisa berperan memberi arah kepada peradaban modern, serta pro-aktif berpartisipasi mencari pemecahan atas berbagai persoalan yang dihadapi masyarakat dan bangsa Indonesia terutama lewat jalur profesi dan kapabilitas intelektualnya.
Maka, pada 20 Maret 1988 didirikanlah Yayasan Bhumiksara. Kata Bhumiksara berasal dari bahasa Sansekerta yang artinya garam dunia. Yayasan baru ini kemudian mendapatkan legitimasi hukumnya berdasarkan akte Notaris Miryam Magdalena Indriyani Wiardi, S.H No. 50 bertanggal 22 April 1988 di Jakarta.
Yayasan Bhumiksara selanjutnya menjalankan program pendampingan kader dengan fokus pada pengembangan spiritualitas dan integritas pribadi serta kualitas kepemimpinan para cendekia. Mereka ini diharapkan bisa melaksanakan gerakan ”penggaraman”. Artinya, gerakan menghayati nilai-nilai kristiani sebagai ”garam dunia”, menyebarkan garam dunia itu dan menanamkannya ke lingkungan masyarakat Indonesia